Edbert Fernando & James Riady

Edbert Fernando & James Riady
Edo's Graduation from UPH College

Kamis, 19 Februari 2009

Diterimo Utawa Keterimo

Tulisan ini sebagai koreksi atas tulisan saya sebelumnya setelah mendapatkan koreksi dari rekan saya Mr. Redemptus. Filosofi Jawa menurut beliau yang benar adalah : "Wong pinter kalah karo wong duwe duit, wong duwe duit kalah karo wong bejo, wong bejo isih kalah karo wong keterimo." Artinya orang pintar kalah sama orang punya duit/kaya, orang kaya kalah sama orang beruntung, orang beruntung masih kalah sama orang keterima.

Kekeliruan dalam pemahaman saya terletak pada kata keterimo, dimana saya mengartikannya sebagai diterima. Rupanya ada perbedaan yang sangat mendasar antara keterimo dengan diterimo, sehingga tulisan saya menjadi sedikit melenceng dari filosofi Jawa yang beliau maksudkan. Arti kata wong keterimo rupanya adalah orang yang beruntung berkali-kali (hokinya gede).

Saya jadi teringat sebuah iklan Bank di radio, tentang untung berkali-kali. Dimana seorang ayah meminta anaknya memanggil kata "ayah" sangat sulit diucapkan oleh anaknya, setelah berusaha anaknya menyebut kata "eye-eye", ayahnya sangat senang lalu meminta anaknya untuk mencoba lagi, akan tetapi anaknya malah memanggil dengan "papa-papa-papa-papa" sampai berkali-kali. Mungkin kira-kira seperti itulah perbedaan antara kata bejo dengan kata keterimo, sama-sama datangnya dari Tuhan, bedanya yang satu beruntung hanya sekali-sekali, sedangkan yang satunya beruntung berkali-kali (selalu beruntung).

Sebenarnya filosofi Jawa di atas mengajarkan kita untuk tidak sombong/angkuh. Kalau kita sudah pintar bukan berarti kita bisa menang dari orang lain dalam segala hal, karena masih ada orang yang lebih hebat di atas kita. Filosofi ini juga ada di dalam filosofi Cina, "I San Hai Yui I San Kau", artinya sebuah bukit masih ada lagi bukit yang lebih tinggi.

Semula saya ingin menghapus tulisan saya sebelumnya, setelah saya pikir-pikir lebih baik saya tulis untuk mengkoreksi filosofinya saja. Kalau keterimo itu datangnya dari Tuhan, sedangkan diterimo (diterima) datangnya dari usaha keras kita supaya keterimo dan diterimo. Jadi tulisan saya yang sedikit menyimpang dari filosofi Jawa tadi dibiarkan saja untuk dijadikan pedoman hidup saya sendiri, toh tidak menyimpang dari kaedah dan prilaku manusia dalam pergaulan.

Jika kita memang tidak pintar, tidak juga kaya, lalu tidak mau berusaha, hanya berharap-harap menjadi wong bejo atau menjadi wong keterimo, maka harus dilihat apakah tabungan karma baik kita di masa lalu cukup atau tidak untuk menjadikan kita menjadi wong keterimo.
Dadi yen kepengen dadi wong diterimo utawa keterimo, pilihen dewe !!!

Selasa, 17 Februari 2009

Kalau Anda Bisa Memilih, Mau Menjadi Orang Pintar, Orang Kaya, Orang Beruntung Atau Menjadi Orang Yang Diterima ?

Tulisan ini terinspirasi oleh salah seorang rekan kerja saya pada saat makan siang kemarin. Rekan saya, Sdr. Redemptus mengatakan "bahwa orang yang bodoh akan kalah dengan orang yang pintar, orang yang pintar masih kalah dengan orang yang kaya, orang yang kaya masih kalah dengan orang yang beruntung, sedangkan orang yang beruntung masih kalah dengan orang yang diterima."

Jika kita benar-benar memahami dan mencermati kalimat di atas, maka ada benarnya juga. Kalau orang bodoh umumnya memang sering kalah dengan orang yang pintar, walau tidak semuanya karena faktor kaya, beruntung dan diterima tadi. Sedangkan orang yang pintar akan tetapi tidak kaya, sering juga kalah dengan orang yang kaya, karena orang kaya walau tidak pintar dapat membayar orang yang pintar sehingga seakan-akan orang kaya yang tidak pintar menjadi pintar dan selangkah lebih maju dari orang pintar yang tidak kaya. Namun adakalanya orang yang tidak pintar, tidak juga kaya bisa juga menjadi pemenang karena faktor keberuntungan. Yang namanya keberuntungan tidak selalu datang terus-menerus, sehingga orang yang beruntung menjadi pemenang juga hanya sekali-sekali. Untuk itu perlu menjadi orang yang diterima.

Orang yang kaya ada dua jenis, yang pertama adalah orang kaya karena faktor orang tua yang sudah kaya dan diwariskan kepadanya sehingga menjadi orang kaya, sedangkan yang kedua adalah orang yang sebelumnya tidak kaya lalu berusaha keras sendiri, berhasil dan menjadi orang kaya. Jadi untuk menjadi kaya tidak sepenuhnya dapat kita lakukan, adakalanya faktor nasib dan keberuntungan yang menentukan. Nasib baik kita dilahirkan di keluarga yang kaya, atau usaha keras kita berhasil karena dewa keberuntungan berpihak kepada kita.

Untuk menjadi orang yang beruntung juga tidak dapat kita lakukan sendiri, tetapi lagi-lagi datangkan dari Tuhan. Kita hanya bisa berusaha, akan tetapi keberuntungan bukanlah kita yang mengaturnya.

Jadi apa yang bisa kita perbuat ? Kalau di suruh untuk memilih, di antara menjadi orang yang pintar, orang yang kaya, orang yang beruntung atau orang yang diterima, mana yang anda pilih ? Tentunya pilihannya hanya boleh satu. Jika anda memilih menjadi orang yang pintar berarti harus menjadi orang yang tidak kaya, tidak beruntung dan tidak diterima, jika anda memilih orang yang kaya berarti anda harus terima resiko menjadi orang yang tidak pintar, tidak beruntung dan tidak diterima.

Hidup ini sebenarnya memang dihadapkan pada pilihan-pilihan. Takdir Tuhan tidak dapat kita merubahnya, kita dilahirkan sebagai pria tidak dapat kita merubahnya. Akan tetapi kita dapat merubah nasib kita. Jika kita dilahirkan di keluarga yang tidak kaya, bukan berarti kita tidak bisa menjadi kaya, kalau kita berusaha keras, tidak pasrah pada nasib awal kita, suatu saat dewa keberuntungan berpihak kepada kita, mungkin kita pun bisa menjadi kaya.

Bagaimana dengan orang yang diterima, apa maksudnya ? Kita mungkin bisa menjadi kaya, sekali-sekali kita mendapatkan keberuntungan, akan tetapi apakah kita termasuk orang yang diterima. Lalu bagaimana untuk menjadi orang yang diterima ?

Sebentar lagi negara kita akan menghadapi Pemilu. Banyak sekali caleg dan capres, cawapres yang mulai berkampanye "menjual diri" masing-masing. Apa gunanya kampanye, supaya orang tahu siapa mereka, apa yang dijanjikan kalau dia terpilih nanti. Intinya para caleg, capres, cawapres ingin menjadi orang yang diterima. Mungkin para caleg, capres, cawapres termasuk kelompok orang yang pintar, mereka umumnya juga cukup kaya dan tentu saja cukup beruntung bisa terdaftar sebagai calon. Hanya saja apakah mereka sudah cukup berbuat untuk negara dan bangsa ini untuk supaya diterima oleh masyarakat yang jauh lebih luas yakni mayoritas masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke.

Jadi untuk menjadi orang yang diterima itu tidaklah gampang. Akan tetapi untuk menjadi orang yang diterima tidak tergantung kepada takdir dan nasib, namun kepada usaha kita masing-masing. Untuk menjadi orang yang diterima, tentu kita harus memiliki daya tarik tersendiri, berwibawa, santun, toleransi dan segala sifat baik menurut penilaian orang lain bukan penilaian kita sendiri. Tentukan ciri-ciri ini ada pada capres dan partai yang mana, ayo ?

Semoga anda menjadi orang yang pintar, gigih dan berjuang keras menjadi orang yang kaya, berdoalah kepada yang Maha Kuasa untuk mendapatkan keberuntungan. Yang terakhir tentunya semoga anda menjadi orang yang diterima disisi-NYA.

Senin, 16 Februari 2009

Berdamai Dengan Waktu

Setiap hari kita selalu merasa waktu mengejar-ngejar kita kalau kita yang mendahuluinya. Sedangkan pada saat kita ditinggal oleh sang waktu kita juga berusaha mengejar-ngejar dia. Dari kita bangun tidur di pagi hari, kita menghendaki waktu menunggu kita dalam mempersiapkan diri kita menuju ke suatu tempat, akan tetapi waktu terus menerus berdetak tanpa memperdulikan kita.

Andai saja waktu itu berhenti berdetak, maka segala sesuatu di dunia ini akan tampak abadi. Segala sesuatu akan diam termasuk manusianya. Jadi antara makhluk hidup dan benda mati tidak ada bedanya. Untuk itu waktu harus berdetak, walau kita diam.

Sebuah legenda kuno menceritakan tentang seorang malaikat di langit yang melakukan ritual pengorbanan pada Pencipta Alam Semesta. Pemujaannya sangat menyentuh Sang Pencipta, sehingga Ia mengatakan malaikat itu boleh meminta satu permintaan. Malaikat itu meminta keabadian. Sang Pencipta tampak bingung. Ia mengatakan bahwa ini adalah satu hal yang tidak bisa dikabulkan-Nya. "Semua hal", kata-Nya, "akan tertelan oleh waktu, bahkan ide-ide manusia tentang Tuhan dan Penciptaannya."

Mungkin kita sering mendengar orang mengatakan "nanti saya coba atur waktunya". Padahal apakah waktu itu bersedia untuk kita atur-atur. Waktu adalah tuan yang paling susah diatur. Kita berlari waktu tetap dengan santai sesuai dengan iramanya berdetak, pada saat kita diam, waktu tidak mau diam tetapi tetap saja berdetak dengan tenang. Namun pada saat kita fokus dan berkonsentrasi pada tugas bukan pada waktu, maka tugas itu akan selesai tepat pada waktunya atau bahkan lebih cepat dari yang kita bayangkan. Pada saat kita fokus pada tugas, seakan-akan waktu berhenti berdetak dan menatap kita.

Kita tidak sadar, sebenarnya kita selalu ditemani oleh sang waktu. Dia berada di mana-mana, dia sudah ada sejak kita belum ada, dia juga tetap ada walau kita sudah tiada. Kita sering ingin menguasai dan mengatur sang waktu, namun pada kenyataannya kita justru sering dikuasai dan diatur oleh sang waktu.

Waktu 1 jam akan berbeda bagi orang yang berbeda. Bagi orang yang sedang menunggu, waktu 1 jam akan terasa sangat lama, orang yang sedang mengejar waktu, 1 jam akan terasa sangat cepat.

Manajemen waktu sebenarnya bukanlah tentang mengatur waktu, akan tetapi tentang mengatur diri kita untuk menyesuaikan dengan sang waktu. Berlindunglah dalam waktu, berhentilah mengaturnya, berdamailah dengannya. Berdamai dengan waktu berarti berdamai dengan diri kita sendiri. Jika waktu kita sudah habis, dengan uang berapapun kita tidak dapat membeli waktu walau hanya sekejab. Bagi kita sendiri, waktu itu baru ada kalau kita ada, waktu itu dikatakan habis kalau kita sudah tiada. Jadi manfaatkanlah waktu kita dengan sebaik-baiknya sebelum waktu kita habis dan berhenti menemani kita.

Kamis, 05 Februari 2009

Ketika Garam Lebih Bernilai Dari Pada Intan Dan Permata

Konon ada satu cerita mengenai seorang raja yang mempunyai 3 orang anak putri. Pada suatu hari Sang Raja bertanya kepada ketiga anak putrinya, "putri-putriku apakah kalian sungguh menyayangi ayah ?"

Putri yang pertama berkata, "oh tentu saja ayah, saya sangat menyayangi ayah bagaikan menyayangi emas dan berlian yang indah". Putri yang kedua juga mengatakan hal yang hampir sama, "saya menyayangi ayah bagaikan menyayangi intan dan permata yang mahal". Sang Raja tertawa, beliau sangat senang dan bahagia setelah mendengar kata-kata kedua putrinya itu.

Giliran putrinya yang ketiga, mengatakan hal yang agak berbeda dengan kakak-kakaknya. "Saya juga menyayangi ayah bagaikan menyayangi garam yang murah". Mendengar kata-kata putrinya yang ketiga, Sang Raja langsung marah. "Apakah kamu anggap ayah ini murah dan tidak berharga, percuma selama ini ayah menyayangimu, pergi kamu dari sini !" Sang Raja membentak dan mengusir putrinya yang ketiga dari kerajaan. Putri ketiga meninggalkan kerajaan dengan membawa satu bungkusan besar yang tidak tahu apa isinya.

Hari demi hari berlalu, dan datanglah bencana badai, dimana pada waktu itu garam semakin sulit dicari. Terpaksa masakan di kerajaan tanpa dibubuhi garam. Sang Raja mulai kehilangan napsu makan dan jatuh sakit. Putri yang pertama dan kedua kelihatan tidak perduli kepada ayahnya. Sang Raja mulai teringat akan putrinya yang ketiga yang telah dia usir.

Seorang dayang diam-diam pergi mencari putrinya yang ketiga. Akhirnya bertemu juga dengan putri Raja yang tiga. Dayang ini menceritakan keadaan ayahnya yang sedang jatuh sakit dan membujuknya untuk pulang. Putrinya bersedia pulang tetapi dengan menyamar sebagai seorang juru masak di kerajaan.

Putri ketiga ini masih menyimpan banyak sekali persediaan garam yang dia bawa pada saat dia meninggalkan kerajaan. Setiap kali memasak tidak lupa dia membubuhi masakannya dengan sedikit garam. Sang Raja mulai menyukai masakan putrinya, namun tidak mengetahui bahwa juru masak itu adalah putrinya sendiri yang sudah dia usir dari kerajaan. Singkat cerita Sang Raja pun akhirnya sehat kembali.

Suatu hari penyamaran putrinya diketahui juga oleh Sang Raja. Sang Raja sangat senang dan gembira. Sang Raja mulai sadar bahwa apa yang dikatakan oleh putrinya tentang menyayangi Sang Raja bagaikan menyayangi garam yang murah ternyata tidaklah salah.

Kita selalu menilai sesuatu dengan harga sebagai ukuran, bahwa sesuatu bernilai karena harganya mahal, sesuatu kurang bernilai jika harganya murah. Pada kenyataannya tidak selalu demikian, tidak selalu barang yang harganya murah tidak bernilai, seperti halnya dengan garam.

Pernahkan kita membayangkan sesuatu yang murah seperti garam ternyata sangat bernilai dan berguna. Apakah jadinya jika dunia ini tanpa garam, mungkin makanan akan menjadi terasa hambar. Mungkinkah garam itu dapat digantikan dengan emas, berlian, intan dan permata ? Memang emas, berlian, intan dan permata terlihat lebih berkilau dari pada garam. Harganya pun mahal bahkan sangat mahal dibandingkan garam yang murah bahkan sangat murah, akan tetapi suatu ketika garam tidak ada, apapun tidak sanggup menggantikan fungsinya.

Maknanya bukan suruh makan garam yang banyak, ingat konsumsi garam yang terlalu berlebih bisa menyebabkan tekanan darah tinggi. Akan tetapi maknanya adalah untuk menghargai hal-hal yang biasanya kita sepelekan, kita pandang rendah, untuk kita lebih menghargai termasuk lebih menghargai para pembantu kita.