Edbert Fernando & James Riady

Edbert Fernando & James Riady
Edo's Graduation from UPH College

Kamis, 27 Agustus 2009

Mendambakan Kendaraan Umum Yang Aman dan Nyaman

Sudah satu minggu ini saya berangkat ke kantor dan pulang dengan kendaraan umum (bus khusus dari shelter bus Lippo Village, Karawaci), karena selama bulan puasa jalanan justru semakin macet terutama di sore hari menjelang berbuka puasa, jadi rasanya akan lebih santai kalau naik bus.

Ternyata saya cukup bisa menikmati perjalanan pergi pulang (bukan pulang pergi, karena bagaimana bisa pulang dulu baru pergi) dengan bus umum tetapi agak khusus ini. Tempat pemberhentian bus ini tidak boleh di sembarangan tempat dan tidak boleh orang naik turun di tengah jalan. Tempat pemberhentiannya sudah ditentukan di titik-titik tertentu, misalnya bus yang berangkat dari Lippo Village jam 06.00 pagi berhentinya di Menara Mulia daerah Semanggi, lalu ke Citra Graha, di Jl. Gatot Subroto. Ada lagi bus yang berangkat jam 06.05 pagi, berhentinya di Komdak, Jl. Jend. Sudirman lalu putar arah ke gedung FX di dekat pintu satu Gelora Bung Karno, Senayan. Memang dengan begitu bus ini menjadi lebih exclusive dibandingkan dengan bus umum lainnya, terutama dari segi keamanan dan kenyamanan para penumpang.

Yang menjadi kendala adalah tempat pemberhentian bus agak sedikit jauh dari kantor saya di Menara Batavia, sehingga saya harus berbalik arah dengan menyambung kendaraan umum lagi. Kalau pada pagi hari tentu tidak menjadi masalah, turun dari bus di gedung FX langsung bisa naik taxi yang banyak lalu lalang di sekitar situ dan situasi jalanan pun cukup lancar. Biasanya naik taxi kira-kira habis antara Rp. 10.000 - Rp. 15.000 dari gedung FX ke gedung Menara Batavia. Masuk taxi, pintu ditutup, argo meter langsung ditekan sebesar Rp. 5.000 ada juga yang Rp. 6.000, jalan kira-kira 1 km, argo meter mulai loncat-loncat kelipatan Rp. 250 kira-kira setiap 6 detik, kalau yang argo pertama Rp. 6.000, lancatannya kelipatan Rp. 300.

Pada sore hari, jalanan macet tidak ketulungan atau bisa dibilang macet minta ampun, cuma biasanya kita minta ampun kan kepada Tuhan, lahhh... memangnya kemacetan jalanan disebabkan oleh Tuhan, itu kan ulah manusia juga, semua orang bawa mobil, motor, semua orang ingin pulang lebih cepat untuk berbuka puasa bersama keluarga. Selama bulan puasa biasanya kantor-kantor masuk lebih pagi dan pulang lebih cepat antara 30 menit sampai 1 jam. Herannya yang tidak puasa pun ingin pulang cepat-cepat juga (ya termasuk saya juga sih). Tensi setiap orang pun mulai berubah, senggol-senggolan antara kendaraan kadang tidak terhindarkan, malah tidak jarang orang mulai mengeluarkan kata-kata makian satu sama lainnya, wah kalau begitu puasanya batal deh !!!

Karena macet tidak ketulungan di sore hari, maka saya terpaksa naik ojek motor dari kantor ke gedung Citra Graha bayar Rp. 20.000, padahal jaraknya paling hanya sekitar 3 km, tidak apa-apa deh hitung-hitung berbagi rezeki kepada tukang ojek motor. Cuma yang membuat sport jantung selip-selipan motor di antara bus-bus bahkan truk, sehingga kaki dan tangan harus benar-benar rapat dengan badan. Kadang saya takut juga tergencet di antara kendaraan yang begitu padat.

Keadaan ini membuat inspirasi saya untuk menulis, bagaimana menciptakan kendaraan umum yang benar-benar aman dan nyaman kepada para penumpang, sehingga orang-orang berangkat ke kantor tidak lagi menggunakan kendaraan pribadi. Dengan pertambahan ruas jalan yang tidak seimbang dengan pertambahan jumlah kendaraan pribadi, jika masalah ini dibiarkan terus menerus, maka memang bukanlah mustahil suatu saat nanti hanya beberapa langkah orang keluar dari rumah jalanan sudah penuh dengan kendaraan, motor, mobil, bus dan truk. Jadi kita harus lewat mana ?

Saat ini yang dipikirkan oleh pemerintah daerah maupun oleh pemerintah pusat selalu mencari cara untuk menambah ruas jalan misalnya menambah under pass dan fly over atau menambah lajur jalan tol, namun semua memiliki keterbatasan-keterbatasan dalam melakukan pengembangan. Dalam proses pembuatan under pass dan fly over saja menyebabkan kemacetan yang luar biasa. Penambahan lajur jalan tol juga tidak dapat dikembangkan terus menerus, suatu saat akan habis juga lahan yang tersedia. Selama pemerintah masih berpikir bagaimana caranya menambah ruas jalan akan selalu kalah dengan orang yang berpikir bagaimana memiliki tambahan kendaraan baru.

Kenapa pemerintah masih tidak berpikir dengan cara yang lain. Selama seminggu saya naik kendaraan umum yang menurut saya cukup aman dan nyaman. Saya merasakan seperti sedang berada di luar negeri. Maklum memang saya jarang naik bus setelah punya kendaraan pribadi, jadi naik bus, taxi dan MRT kalau sedang di luar negeri, rasanya nyaman-nyaman saja. Jadi saya berpikir kalau seandainya semua bus umum di Jakarta dibuat senyaman di luar negeri atau setidaknya senyaman bus dari shelter-shelter perumahan seperti Lippo Village, mungkin banyak yang akan parkir mobil pribadinya di rumah. Mobil pribadi cukup satu atau dua saja untuk bepergian dengan keluarga pada akhir pekan atau pada hari libur.

Akan tetapi tidak cukup sampai di situ saja, tidak cukup hanya perbaikan kwalitas dan kwantitas bus-bus umum. Langkah berikutnya adalah membatasi kendaraan pribadi untuk masuk ke jalan tol dan jalan-jalan protokol pada hari-hari kerja. Caranya pada hari-hari kerja tarif jalan tol untuk kendaraan pribadi dinaikkan misalnya Rp. 5.000/km/kendaraan, sedangkan bus bila perlu digratiskan. Pada akhir pekan (Sabtu, Minggu) dan hari-hari libur tarif tol dinormalkan lagi seperti tarif yang berlaku saat ini. Untuk kendaraan angkutan barang seperti truk diberlakukan tarif tersendiri, supaya tidak menghambat perputaran barang. Jalan-jalan protokol juga dibuatkan pintu pembayaran seperti jalan tol dengan tarif yang sama seperti jalan tol. Motor tidak diperbolehkan masuk ke jalan-jalan protokol, apalagi jalan tol yang memang dari dulu juga tidak boleh masuk. Armada bus diperbanyak, keamanan dan kenyamanan dibuat seperti bus dari shelter-shelter perumahan. Semua penumpang mendapatkan tempat duduk, tidak boleh ada yang berdiri. Dengan demikian akan terjadi seleksi alam, bus-bus yang kurang nyaman akan ditinggalkan oleh penumpangnya, sehingga semua berlomba-lomba untuk membuat bus-bus semakin nyaman dan aman, bila perlu di setiap bus ada seorang penjaga seperti Satpam, jadi jangan coba-coba untuk mencopet di bus umum.

Tulisan saya ini hanya sebagai suatu ide awal saja, tentunya teknis pelaksanaannya mungkin masih banyak pakar-pakar di Departemen Perhubungan yang jauh lebih tahu dari saya. Kalau saya terlalu detail, selain orang juga bosan membacanya, saya juga takut dipanggil ke Cikeas untuk dimasukkan dalam daftar yang akan diseleksi oleh Bapak SBY. Bisa kacau urusannya, mau saya tolak nanti dikira sombong, mau diterima nanti tidak enak dengan partai-partai koalisi pendukung SBY-Boediono, kan jadi buah simalakama.

Senin, 10 Agustus 2009

Rumah Masa Depan (Bagian II)

Pada tanggal 25 Juli 2009 yang lalu, Tante kami (Siko) telah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Sesuai dengan tulisan saya sebelumnya bahwa kami sudah mempersiapkan "Rumah Masa Depan" untuk Siko, yakni di Sandiego Hills Memorial Park, Kerawang. Tepatnya di kapling creation Hammingbird Blok J27 No. 5.

Pada tanggal 28 Juli 2009, yakni hari pemakaman Tante kami (Siko) di Sandiego Hills Memorial Park, yang dihadiri oleh saudara dan sanak keluarga dari Tan (Tan Family) yang berangkat dari Rumah Duka Siloam dengan iring-iringan 7 buah mobil.

Setelah pemakaman kami makan bersama di aula kantor pemasaran dan dilanjutkan dengan foto-foto di taman dengan pemandangan yang sangat indah, danau, kolam renang, rerumputan hijau seperti lapangan golf yang notabene adalah kuburan yang dibuat dengan kesan yang tidak menyeramkan seperti kuburan-kuburan tradisional pada umumnya, gundukan tanah yang tinggi, batu nisan yang besar-besar, ada pohon-pohon kamboja yang kadang membuat bulu kuduk berdiri.

Pada tanggal 31 Juli 2009 tepatnya hari ketujuh meninggalnya Tante kami (Siko), kami meninjau kembali "Rumah Masa Depan" Siko. Ternyata taburan-taburan bunga pada waktu pemakaman sudah berganti dengan tanaman rumput golf.

Tante kami (Siko) pada masa hidup tidak pernah sekalipun menyinggung tentang "Rumah Masa Depan" untuk dirinya, karena memang semangat hidup beliau sangat tinggi, dia berjuang melawan penyakitnya sekitar 9 bulan setelah divonis dokter mengidap penyakit tumor/kanker pankreas. Beliau hampir tidak mau terima kenyataan bahwa penyakitnya sudah tidak bisa disembuhkan lagi, kecuali melalui operasi, namun mengingat usianya yang sudah tua akan sangat riskan untuk melakukan tindakan operasi selain tentu masalah biaya yang sangat besar pula. Beliau berharap ada mujizat dari Yang Maha Kuasa sambil minum Ginseng selama kurang lebih 6 bulan. Hingga sekitar 3 bulan sebelum meninggal beliau masih aktif menghadiri Gereja pada hari Minggu bersama dengan keluarga Om dan Tante kami yang lain, yang juga adalah adiknya.

Menurut penganut Kristen yang kami tahu bahwa ada istilah "tanah kembali ke tanah", selain itu Tante kami (Siko) agak kurang menyetujui orang yang sudah meninggal dilakukan kreamasi (dibakar), sehingga kami menyiapkan "Rumah Masa Depan" yang tanpa melalui pesanan dari beliau yang menurut kami sudah sangat layak tempatnya.

Ada juga Om dan Tante kami yang tinggal di daerah Batu Ceper menganggap setelah meninggal apapun bentuk bakti dari anak sudah tidak berguna, yang penting adalah bakti anak semasa hidup. Jadi agar tidak menyusahkan anak, mereka berpesan kepada anak-anaknya kalau nanti mereka sudah meninggal agar dikreamasi saja dan abunya dibuang ke tengah lautan.

Memang kalau orang dulu-dulu bisa dianggap pamali, amit-amit jabang bayi (ho lai phai khi / tai kak li si), beli kuburan untuk mempersiapkan kematian, akan tetapi sekarang sudah biasa. Namun menurut saya mempersiapkan "Rumah Masa Depan" oleh anak kepada orang tuanya yang sudah tua mungkin tidak ada salahnya, akan tetapi mempersiapkan "Rumah Masa Depan" oleh kita sendiri yang diperuntukan kita sendiri nantinya dengan memilih lokasinya, view-nya mungkin rasanya tidak terlalu penting.

Atasan saya pernah mengajak saya membeli "Rumah Masa Depan" di Sandiego Hills juga, saya katakan belumlah Bu, belum saya pikirkan. Apa yang dikatakan atasan saya waktu itu saya masih ingat, "tapi suatu hari kamu akan mati juga kan ?" Bahkan atasan saya membeli sampai 4 kapling untuk dirinya. Katanya kalau dia tidur tangannya bisa bebas bergerak, kalau cuma 1 m x 2,6 m bagaimana bisa bebas menggerakkan tangan. Beberapa rekan kantor saya juga ikut bersama atasan saya membeli di sana, katanya supaya bisa tetap berdekatan (bertetangga). Jadi masih bisa ketemu lagi setelah masing-masing sudah meninggal. Saya sedikit geli juga mendengarkan alasannya. Kan jasad orang itu dimasukkan dalam peti kayu yang sudah ditutup rapat dengan skrup/paku. Peti kayu dimasukkan lagi ke lubang yang terdapat sebuah peti batu, setelah itu peti batu itu ditutup, baru kemudian ditimbun tanah. Kalau begitu, tetap saja tidak bisa bebas bergerak, bahkan tidak ada udara, atau mungkin orang yang sudah meninggal tidak lagi butuh udara, karena sudah tidak lagi bernafas. Akan tetapi kalau orang yang sudah meninggal dan sudah dikubur masih bebas bergerak ke sana ke mari, untuk apa juga tidur di dalam peti kayu, kan bisa tidur di samping danau atau di mana saja. Kalau kita beranalogi orang yang sudah meninggal dan sudah dikubur di dalam tanah masih seperti orang dalam kehidupan dunia nyata tentunya sudah tidak nyambung lagi.

Ada juga yang bilang, orang yang menjadi suami istri di kehidupan sekarang, setelah masing-masing sudah meninggal sudah tidak saling kenal lagi di alam sana. Jadi untuk apa juga "Rumah Masa Depan" harus saling berdekatan. Ada lelucon dari istri saya, katanya kalau nanti kita masing-masing sudah meninggal, kan kita sudah tidak saling kenal. Dan ceritanya istri saya sudah kawin dengan orang kaya dan kebetulan saya yang menjadi supirnya. Dia melihat saya sepertinya sudah pernah kenal, lalu dia selingkuhlah dengan supirnya, yakni saya. Walaupun hanya sekedar lelucon, tetapi saya senang juga mendengarnya. Artinya dia tidak kecewa bersuamikan saya, bahkan kalau sampai tidak bersama saya di kehidupan yang akan datang, walaupun dia sudah menjadi orang kaya sedangkan saya hanya seorang supir, dia masih memikirkan saya dengan jalan menempuh jalur selingkuh agar kita tetap bisa bersama.

Rumah Masa Depan (Bagian I)

Hari Minggu tanggal 22 Pebruari 2009 yang lalu, saya bersama dengan istri, Om dan Tante (Atio & Seko) ke Kerawang. Tujuan kami adalah untuk melihat-lihat kapling tanah untuk "Rumah Masa Depan" buat Tante kami yang lain (Siko) yang saat itu sedang sakit.

Kami masuk ke kawasan Sandiego Hills Memorial Park sebagai kawasan yang masih relatif agak baru. Menurut salah seorang marketing executive-nya, bahwa saat ini baru dikembangkan seluas 50 hektar dari rencana keseluruhan 500 hektar. Kawasan yang tertata sangat rapi jauh dari kesan kuburan. Orang yang tidak tahu mungkin dikira lapangan golf yang lengkap dengan country club-nya. Ada danau, ada kolam renang, gedung pertemuan, restoran, toko bunga dan lain-lain.

Untuk type yang standar adalah lokasi yang dinamakan dengan creation dengan ukuran 1m x 2,6m. Harganya berkisar antara dua puluhan sampai tiga puluhan juta rupiah sebelum discount. Discount tergantung cara pembayarannya, karena bisa juga dengan cara kredit. Saya tidak tanya istilahnya kalau cara pembayaran secara kredit, mungkin kalau kita kreatif memberikan singkatannya adalah "KPK" (Kredit Kepemilikan Kuburan), karena tanahnya adalah bersertifikat hak milik.

Harga juga bisa ditentukan oleh letak tanahnya, view yang berbeda harganya juga berbeda. Tanah yang view-nya menghadap ke danau lebih mahal. Pada saat kita tanya untuk yang dekat ke danau, katanya sudah terjual habis 100%. Untuk posisi yang lebih tinggi dekat dengan pohon-pohon di atas bukit, katanya juga sudah terjual habis.

Penomoran juga menentukan harga, untuk nomor cantik seperti 7, 8 dan 9 harganya lebih mahal, dan tidak terdapat nomor 4 karena angka 4 dalam pengucapan bahasa Mandarin adalah Se atau dalam dialek Hokkian adalah Si, yang bisa berarti mati. Jadi orang yang sudah mati saja dianggap masih takut akan angka 4 (mati), atau bisa diartikan orang yang sudah mati masih takut mati, padahal memang sudah mati.

Semua kuburan dalam bentuk flat (rata), untuk yang sudah terisi, tanah dan rumputnya agak sedikit lebih tinggi (± 3 cm), sehingga kita bisa membedakan yang sudah terisi (sudah dihuni) dengan yang belum terisi (belum dihuni).

Semua kuburan 1m x 2,6m langsung nempel dengan tetangga di sebelahnya dan suatu saat semua sudah terisi penuh, maka bagi saudara yang datang untuk berziarah harus berjalan di atas garis di antara kuburan, karena kalau tidak akan sedikit menginjak kuburan tetangga.

Pada saat kita tanyakan yang paling dekat dengan jalan (di pinggir jalan) katanya masih tersedia cukup banyak, dan masih terdapat sisa tanah antara 1/2 sampai 1 meter dari saluran air (got) di pinggir jalan. Ternyata menurut lanscap-nya posisi kepala ada di bawah (menghadap ke bukit). Mungkin sengaja untuk kita tidak memanfaatkan tanah yang kurang dari 1 meter di pinggir jalan untuk berdiri, supaya tidak longsor karena sering diinjak.

Dengan hanya tersisa beberapa posisi yang cukup baik yang ditunjukkan oleh marketing executive-nya, akhirnya kami memutuskan mengambil satu kapling di Hammingbird blok J27 No. 5, itulah "Rumah Masa Depan" untuk Tante kami (Siko).