Edbert Fernando & James Riady

Edbert Fernando & James Riady
Edo's Graduation from UPH College

Kamis, 19 Maret 2009

Pemilu Presiden Cukup Satu Putaran

Sebentar lagi kita akan menghadapi Pemilu, yang puncaknya adalah pemilihan presiden secara langsung untuk kedua kalinya di negeri ini. Sekarang ini sedang memasuki masa kampanye terbuka. Kita melihat partai-partai besar sedang memainkan manuver-manuver politiknya dengan berbagai penjajakan awal dalam rangka koalisi. Ujung-ujungnya adalah pembagian kekuasaan di dalam pemerintahan. Yang tidak masuk di dalam pemerintahan menamakan diri sebagai oposisi yang notabene adalah "musuh pemerintah".

Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga yang relatif masih agak baru, masih jauh dari contoh negara demokrasi terbesar Amerika Serikat. Ketika Abraham Lincoln bersaing dengan Edwin M. Stanton pada pemilu di Amerika Serikat tahun 1861, Stanton menjadikan Abraham Lincoln sebagai musuh dengan memfitnah untuk menjatuhkan Abraham Lincoln. Namun ketika Abraham Lincoln menang dan menjadi Presiden Amerika Serikat ke-16, dia mengangkat Stanton untuk posisi yang sangat strateris sebagai Menteri Peperangan (Secretary of War). Stanton menjadi teman yang sangat setia kepada Abraham Lincoln. Itulah cara Abraham Lincoln dalam menaklukkan musuh dengan menjadikannya sebagai teman.

Kita juga masih ingat akan pemilu presiden Amerika Serikat tahun 2008 yang baru lalu. Barack Obama bersaing dengan Hillary Rodham Clinton untuk memperebutkan kursi calon presiden dari Partai Demokrat. Ketika Hillary kalah dari Obama, Hillary mengajak para pendukungnya untuk mendukung Obama dalam bersaing dengan calon dari Partai Republik, Jhon McCain. Barack Obama akhirnya menang dan menjadi presiden Amerika Serikat yang ke-44 yang sekaligus sebagai presiden kulit hitam yang pertama di Amerika Serikat. Dan Hillary diajak bergabung dalam kabinetnya menjadi Menteri Luar Negeri. Seorang calon presiden yang juga mantan First Lady Amerika Serikat mau menerima jabatan sebagai Menteri Luar Negeri.

Kita masih perlu banyak belajar jika ingin menjadi negara demokrasi yang sesungguhnya. Kebesaran hati dari orang-orang tersebut di atas sangat patut kita jadikan contoh untuk proses demokrasi di negara kita. Di negara kita kalau sudah menjadi presiden atau calon presiden, kalau sudah kalah tetap tidak mau menjadi wakil presiden apalagi cuma menteri. Saya membayangkan betapa kuat negara kita jika semua pemimpin partai, para calon presiden bergabung bersama-sama membangun negeri ini sesuai dengan bidang kemampuan masing-masing.

Tanpa mengecilkan partai-partai baru dan partai menengah pada pemilu tahun 2004. Kita ambil dari 2 partai terbesar pada pemilu 2004 yakni Partai Golkar dan PDIP serta partai pendukung utama pemerintah sekarang yakni Partai Demokrat. Misalkan ketiga partai tersebut masih mendapatkan suara yang cukup besar yakni menjadi 3 besar, maka Yusuf Kalla, Megawati dan SBY akan bersaing memperebutkan kursi presiden. Yang menang menjadi presidennya, yang nomor dua menjadi wakil presiden, sedangkan yang nomor 3 menjadi Menteri Koordinator. SBY memiliki kemampuan di bidang politik, keamanan dan diplomasi luar negeri cocok untuk Menko Polkam, Megawati yang katanya memperhatikan rakyat kecil, menciptakan sembako murah cocok menjadi Menko Kesra, sedangkan Yusuf Kalla yang berlatar belakang saudagar yang sukses, pintar dalam dunia bisnis dan perdagangan cocok untuk Menko Perekonomian. Kalau Presiden dan Wakil Presiden tentu sudah dapat mengatur ketiga bidang tersebut dengan pembagian tugas kepada pembantunya sesuai bidang kemampuan masing-masing. Dengan cara seperti ini, wakil presiden tidak perlu satu paket dengan presidennya. Pemilu presidenpun cukup satu putaran saja, bahkan satu Menko juga secara otomatis langsung terpilih, yang penting sebelum pemilu presiden 3 partai terbesar melakukan koalisi dan kesepakatan terlebih dahulu.

Akan tetapi tentu hal ini agak sulit terjadi, karena tidak ada kebesaran hati dalam menerima kekalahan, masing-masing pemimpin masih menganggap dirinya yang terbaik, orang lain tidak akan sebaik dirinya. Kalau sudah kalah masih berusaha dengan berbagai upaya, menganggap terjadi kecurangan, menghendaki pemilu ulang, seperti yang terjadi dalam Pilkada Jawa Timur. Kalau sampai benar-benar kalah, lebih baik menjadi oposisi, merasa lebih terhormat. Itulah negara kita yang menjadi negara demokrasi nomor tiga terbesar dunia setelah Amerika Serikat dan India.

Kita sebagai rakyat yang awam persoalan politik, tidak terlalu mempermasalahkan siapa yang akan menjadi presiden dan wakil presiden, asalkan para pemimpin di atas benar-benar memperjuangkan nasib rakyat, bahu membahu bersama dengan jajaran kabinet serta wakil rakyat di parlemen membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik. Kita butuh pemimpin yang legowo, berhati besar, bijaksana, mulia dan adil terhadap semua rakyatnya. Gunakan hak pilih kita untuk memilih sesuai dengan hati nurani kita masing-masing.