Edbert Fernando & James Riady

Edbert Fernando & James Riady
Edo's Graduation from UPH College

Minggu, 30 November 2008

"Bodoh", "Kepepet", "Berani Nekat" Bisa Jadi Pengusaha

Tidak terasa kita sudah berada di ujung tahun 2008. Sebentar lagi kita akan meninggalkan tahun 2008 ini dan menyongsong tahun 2009 yang menurut berbagai kalangan baik itu pengusaha, pengamat, politisi maupun para eksekutif muda sebagai tahun yang semakin sulit dari tahun 2008. Dimana tahun 2009 juga bertepatan dengan pelaksanaan Pemilu di negeri kita tercinta ini.

Dikatakan tahun yang sulit karena beberapa bulan belakangan ini telah terjadi krisis ekonomi global yang melanda hampir seluruh dunia. Bahkan negara China yang tingkat pertumbuhan ekonomi cukup tinggi dan stabil sekalipun juga sudah mulai mengalami perlambatan. Dimana China yang sangat mengandalkan ekspor mungkin akan mengalami penurunan karena negara-negara yang sedang mengalami krisis ekonomi akan mengurangi impornya. Indonesia, menurut Menkeu Sri Mulyani Indrawati, kalau pesimis kemungkinan pertumbuhan hanya sekitar 4,5%, sedangkan target APBN pertumbuhan sebesar 6%. Mengacu pada tahun 2008 bahwa setiap pertumbuhan ekonomi 1% dapat menyerap tenaga kerja sebesar 702.000 orang, maka dengan penurunan pertumbuhan ekonomi 1,5% akan timbul pengangguran lebih dari 1 juta tenaga kerja, dan saat ini pengangguran terbuka sudah mencapai 9,4 juta pekerja. Apakah kita harus menambah jumlah penganggur yang sudah begitu besar, atau kita juga dapat membantu pemerintah menciptakan lapangan pekerjaan baru untuk mengurangi jumlah pengangguran ?

Koran Kompas tanggal 1 Desember 2008 memuat berita utama "Jumlah PHK Meroket". Pada analisa ekonomi oleh Rhenald Kasali juga membahas hal yang sama dengan topik "Resesi, Depresi, dan PHK", dimana dikatakan bahwa menurut Harvey Brenner, setiap 10% kenaikan penganggur, kematian naik 1,2%, serangan jantung 1,7%, bunuh diri 1,7% dan harapan hidup berkurang 7 tahun.

Kalau memang benar angka-angka tersebut di atas, maka manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna justru bisa dikatakan paling rapuh di dunia ini, lebih rapuh dari pada burung atau bahkan cacing tanah. Burung yang tidak memiliki mata pencaharian tetap, tidak memiliki kantor, tidak juga punya toko, masih tetap optimis terbang setiap pagi mencari makanan untuk mempertahankan hidup. Kalau mendapat makanan harus dibawa pulang untuk anak-anaknya. Kadang terbang ke sana ke mari tidak mendapatkan makanan, tetapi burung tidak frustasi dengan bunuh diri, membenturkan kepalanya ke tembok atau ke pohon. Cacing tanah yang tidak punya tangan dan kaki atau bahkan kita tidak tahu apakah cacing tanah punya mata dan telinga juga tetap optimis untuk mempertahankan hidup. Kita tidak melihat cacing tanah dengan sengaja keluar dari tanah untuk bunuh diri. Jadi apakah kita tidak malu dengan burung dan cacing tanah ? Kalau sampai kita mengalami frustasi apalagi sampai bunuh diri, kita bisa ditertawai oleh cacing tanah.

Ada yang mengatakan bahwa saat ini yang sedang mengalami krisis terlebih dahulu adalah para pemilik modal, pemegang portofolio yang notabene adalah orang-orang kaya menurut kacamata kita. Sebentar lagi krisis ini akan merembet pada perusahaan-perusahaan yang kemudian tentu akan sampai kepada kita juga sebagai pekerja.

Ini bukanlah bermaksud untuk menakut-nakuti, akan tetapi bagaimana kita menyikapi dampak resesi ekonomi dunia yang cepat atau lambat juga mungkin akan mampir pada ekonomi rumah tangga kita masing-masing. Apakah kita harus bersikap pesimis dengan keadaan ini. Seharusnya tidak, menurut Rhenald Kasali bahwa "orang yang kepepet bisa hijrah jadi pengusaha asalkan lingkungannya kondusif ". Pertanyaannya adalah apakah lingkungan kita sudah kondusif untuk kita hijrah jadi pengusaha ? Mungkin masing-masing kita juga masih belum mengerti lingkungan kondusif itu seperti apa. Kalau menurut pemahaman saya lingkungan kondusif adalah adanya faktor pendukung.

Beberapa hari yang lalu dalam perjalanan pulang dari kantor saya mendengarkan radio Trijaya FM dalam acara Life Excellance bersama Jamil Azzaini. Menurut beliau bahwa seseorang kadang dapat menjadi seorang pengusaha yang sukses, yang pertama karena "bodoh" dan yang kedua karena "kepepet". Orang yang "bodoh" dalam hal hitung menghitung justru lebih cepat mengambil keputusan memulai suatu usaha dibandingkan dengan orang yang pintar menghitung, pintar membaca laporan keuangan dan pintar dalam hal analisa untung rugi. Mungkin pernyataan beliau ada benarnya juga.

Sering kita mendengar orang ingin memulai suatu usaha karena adanya dukungan keuangan dari orang tua, saudara atau teman tetapi tidak tahu harus memulai dari mana, tidak tahu mau usaha apa, mungkin karena belum benar-benar kepepet. Orang yang kepepet biasanya justru banyak akal.

Menurut saya tidak hanya faktor "bodoh" dan "kepepet" yang dapat membuat kita hijrah menjadi pengusaha. Jika anda berprofesi sebagai seorang Akuntan yang notabene jagoan soal hitung-menghitung dan analisa, dan anda tidak sedang kepepet, bukan berarti harus menjadi "bodoh" dulu supaya bisa hijrah menjadi pengusaha. Ada faktor yang lebih penting lagi adalah keberanian mengambil resiko. Adakalanya orang yang kepepet justru semakin takut mengambil resiko. Misalnya seorang karyawan yang terkena PHK kadang akan takut mencoba buka usaha sendiri. Takut modalnya yang tidak seberapa dari uang pesangon dibuat usaha ternyata rugi, modalnya amblas. Akhirnya lebih baik melamar pekerjaan baru, kirim lamaran ke sana ke mari dan memenuhi panggilan interview yang kadang cukup jauh dari tempat tinggalnya. Tidak jarang ada yang sampai frustasi karena dananya habis hanya untuk biaya fotocopy, kirim lamaran, ongkos perjalanan dan biaya hidup lainnya namun pekerjaan belum juga didapat.

Meminjam istilah Pak Ciputra "Mengubah Sampah Menjadi Emas". Kawasan Ancol yang dahulu terkenal dengan daerah jin membuang anak diubah menjadi "Disneyland"-nya Jakarta. Pak Ci yang juga adalah seorang Insinyur pasti tidak bodoh soal hidung menghitung, dan apakah Pak Ci pada waktu itu sedang kepepet. Saya rasa tidak ! Akan tetapi lebih pada keberanian beliau mengambil resiko.

Saya memulai usaha sendiri pada awal tahun 2004 bisa dikatakan dari nol (tidak punya pengalaman sama sekali dalam bidang usaha yang saya geluti). Sebagai seorang Finance Manager tentunya juga sangat mengerti soal hitung menghitung, jadi dapat dikatakan tidak bodoh bahkan mungkin agak nyelimet soal hitung menghitung. Waktu itu saya juga tidak sangat kepepet (kalau mau jujur mungkin ada juga sedikit kepepet). Mungkin faktor utama waktu itu adalah keberanian mengambil resiko (nekat). Justru dengan modal nekat itu pula yang menjadikan saya sebagai seorang pengusaha, walau masih dalam skala kecil, yang penting kan tetap pengusaha (lebih tepat disebut pengusaha khusus hari Sabtu), karena hari Senin sampai dengan Jumat sudah 2 tahun kembali menjadi karyawan, sedangkan usaha saya tetap berjalan dan sudah dapat dijalankan oleh istri.

Beberapa hari yang lalu saya baru membaca di koran, bahwa kata krisis dalam bahasa Mandarin disebut Wui Ci yang berasal dari kata Wui Sien (bahaya) dan Ci Hue (kesempatan). Jadi kata krisis mengandung arti bahaya kesempatan. Menurut saya setiap kesempatan selalu mengandung bahaya (resiko), orang yang menghindar dari resiko sering mengsia-siakan kesempatan, kesempatan yang hilang itulah yang membuat kita mengalami krisis. Ingat "Opportunity Never Come Twice". Jadi cari peluang usaha yang mungkin dapat kita lakukan untuk menyongsong tahun 2009 dengan lebih optimis. Misalnya usaha jual baju kaos Partai Politik atau usaha sablon mungkin cukup menjanjikan.

Sabtu, 29 November 2008

Compress Time/Compress Waktu

Melanjuti tulisan saya sebelumnya mengenai "Menghayal Waktu Ada 25 Jam Dalam Sehari". Kali ini saya masih mencoba untuk menghayal ada tambahan waktu 1 jam dalam sehari. Andaikan waktu itu dapat ditabung, sehingga kita dapat mempergunakan pada saat kita sangat membutuhkan tambahan waktu. Misalnya kita ingin menghadiri suatu pertemuan penting, tetapi di jalan kita terjebak dalam kemacetan yang mengakibatkan kita hadir terlambat, supaya tidak terlambat kita keluarkan tabungan waktu kita, atau pada saat kita kurang cukup istirahat karena suatu keperluan yang mengharuskan kita tidur terlambat dari biasanya, kita keluarkan tabungan waktu kita untuk tidur.

Akan tetapi apakah mungkin hal ini dapat terjadi, karena seperti dalam tulisan saya sebelumnya bahwa waktu yang diberikan kepada setiap orang selalu sama yakni 24 jam dalam sehari. Untuk mendapatkan tambahan waktu 1 jam sehari kita perlu melakukan compress waktu. Tentunya para pembaca sudah tahu istilah komputer "compress file" atau "zip". Dimana suatu file yang isinya sangat besar dapat dilakukan zip menjadi hanya tinggal 20% saja sehingga jika disimpan ke dalam disk, tidak membutuhkan kapasitas terlalu besar. Di sini saya tidak bermaksud untuk melakukan compress waktu yang sehari ada 24 jam dijadikan 4 jam. Bisa anda bayangkan bagaimana jadinya jika dalam sehari hanya ada 4 jam saja, setiap orang akan bekerja secara terburu-buru, kita akan kekurangan tidur, kehidupan kita akan menjadi sangat kacau dan setiap orang menjadi stress/tertekan, karena tidak ada waktu untuk bersantai, mendengarkan musik, menonton sinetron dan hiburan lainnya.

Compress waktu yang saya maksudkan adalah compress waktu yang sesuai dengan kebutuhan kita, dan sisa compress waktu masih cukup untuk aktivitas kita secara normal. Misalnya sehari ada 24 jam dijadikan 22-23 jam, sehingga kita melakukan compress waktu cukup 5% saja.

Pertanyaan saya apakah dengan waktu 23 jam dalam sehari kita harus mengorbankan sesuatu ? Saya rasa tidak ! Kita tidak harus mengerjakan sesuatu secara tergesa-gesa hanya untuk mendapatkan tambahan waktu 1 jam dalam sehari. Hanya saja kita sering ingin mengambil jatah tambahan waktu namun kita tidak melakukan compress waktu, sehingga kita sering kekurang waktu.

Jadi bagaimana cara kita melakukan compress waktu. Kuncinya adalah konsentrasi pada suatu aktivitas yang sedang kita kerjakan, jangan sering melamun. Misalnya kita mengerjakan PR sambil menonton sinetron di televisi, sehingga PR yang seharusnya dikerjakan dalam 30 menit menjadi 2 jam, sering acara sinetron sudah habis, PR kita belum juga selesai dikerjakan. Mata kita tidak dapat diajak untuk bercabang. Acara menonton televisi dapat diganti dengan mendengarkan musik, karena pada saat kita mengerjakan PR, mata dan tangan yang bekerja, sedangkan telinga kita menganggur, maka mendengarkan musik sambil bekerja menurut saya tidak terlalu mengganggu.

Yang saya maksudkan compress waktu adalah melakukan penghematan waktu dengan konsentrasi pada masalah yang sedang kita kerjakan. Jangan membuang-buang waktu yang sia-sia. Masih ingat pribahasa "Time Is Money" (Waktu Adalah Uang). Jadi jika kita membuang-buang waktu sama saja kita membuang-buang uang. Saya tidak akan malu dibilang pemulung, andaikan waktu yang sudah saya buang hari-hari sebelumnya dapat saya pungut kembali.

Minggu, 09 November 2008

Menghayal Waktu Ada 25 Jam Dalam Sehari

Sudah lebih dari sebulan saya tidak menulis di blog ini. Saya sering merasa kurang cukup punya waktu untuk menulis, sehingga tertunda sehari demi sehari. Hari ini saya berusaha menyediakan sedikit waktu luang saya untuk menulis.

Pada saat liburan Lebaran akhir September sampai dengan awal Oktober yang lalu, kami sekeluarga pergi berlibur, setelah pulang berlibur pekerjaan yang harus dikerjakan rasanya tidak pernah habis. Rasanya setiap hari sering terjadi kekurangan waktu. Kadang-kadang saya berpikir alangkah enaknya kalau hari Sabtu dan Minggu ada tambahan jam menjadi 30 jam dalam satu hari penuh, atau paling tidak ada 25 jam, sehingga kelebihan 1 jam dalam sehari cukup untuk saya manfaatkan untuk menulis.

Kita semua diberikan waktu yang sama yakni 24 jam dalam sehari, apakah dia Presiden, Menteri, Pengusaha, Karyawan, Pembantu Rumah Tangga atau dia sebagai Pengangguran sekalipun tetap mendapatkan jatah waktu yang sama. Tidak ada waktu lebih yang diberikan kepada orang yang sibuk, tidak ada juga waktu yang dikurangi bagi seorang yang hidupnya santai.

Waktu yang ada selama 24 jam dalam sehari begitu berharga untuk disia-siakan. Saya mengutip dari seorang penulis, Jhon Wooden yang mengatakan "Belajarlah seolah-olah kamu akan hidup selamanya. Hiduplah seolah-olah kamu akan mati besok." Maknanya adalah bahwa kita harus belajar terus menerus, jangan pikirkan ilmu yang kita dapat akan dipergunakan sampai kapan, karena kita belajar untuk hidup selamanya. Namun untuk mengerjakan sesuatu dalam hidup kita, kita harus memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Kalau kita tahu bahwa kita akan mati besok, maka waktu 24 jam itu menjadi begitu singkat, sehingga kita tidak akan menyia-nyiakan waktu walau hanya beberapa detik.

Mungkin para penggemar balap mobil Formula 1 masih ingat akan seri terakhir GP Brasil pada tanggal 3 Nopember 2008 dini hari, dimana Felipe Massa dari Ferrari menjuarai GP Brasil tersebut, akan tetapi gagal menjadi juara dunia. Yang keluar sebagai juara dunia adalah Lewis Hamilton dari Mclaren yang finis pada posisi ke-5 pada GP Brasil, dengan hanya selisih satu point lebih banyak dari Felipe Massa. Pada saat Felipe Massa mencapai garis finis, Lewis Hamilton masih ada pada posisi ke-6, jika dia finis pada posisi ke-6, maka yang menjadi juara dunia adalah Felipe Massa, karena juara seri lebih banyak dari Lewis Hamilton. Beberapa detik menjelang garis finis, Lewis Hamilton berhasil memotong Timo Glock sehingga finis pada posisi ke-5 sekaligus tampil sebagai juara dunia Formula 1 termuda mengukir sejarah baru balap mobil Formula 1. Itulah detik-detik yang sangat berharga buat Lewis Hamilton.

Sebenarnya dalam kehidupan kita, setiap detik juga sama berharga, jika kita memanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Jangan menghabiskan waktu secara sia-sia karena waktu bagian paling penting dari kehidupan. Orang yang berani menyia-nyiakan waktu sekalipun hanya satu jam berarti dia belum bisa menemukan nilai kehidupan.

Waktu yang kita katakan berharga bukanlah harus dipergunakan untuk bekerja. Waktu yang kita pergunakan untuk bersantai, membaca buku bahkan untuk tidur juga sama berharganya dengan waktu yang kita gunakan untuk bekerja. Hanya saja bagaimana kita harus mengalokasikan porsi waktu untuk masing-masing aktivitas kita secara seimbang itulah yang terpenting. Manfaatkanlah waktu 24 jam sehari dengan sebaik-baiknya, jangan menghayal waktu akan ditambah menjadi 25 jam sehari seperti yang pernah ada dalam pikiran saya.